Minyak

Harga Minyak WTI Naik Dekati USD 62 Per Barel Pasca Sanksi Rusia

Harga Minyak WTI Naik Dekati USD 62 Per Barel Pasca Sanksi Rusia
Harga Minyak WTI Naik Dekati USD 62 Per Barel Pasca Sanksi Rusia

JAKARTA - Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan di atas US$61 per barel pada Jumat, 24 Oktober 2025, mendekati level tertinggi dua pekan terakhir. Reli harga ini terjadi seiring meningkatnya kekhawatiran pasokan global setelah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap produsen besar Rusia.

Berdasarkan data Trading Economics, Jumat, 24 Oktober 2025 pukul 14.30 WIB, harga WTI terkoreksi tipis 0,31%–0,33% ke kisaran US$61,7 per barel. Meskipun melemah di akhir pekan, harga tetap mencatat kenaikan mingguan sekitar 7,7%, menandakan momentum penguatan masih terjaga.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, mengatakan koreksi tipis ini wajar sebagai respon teknikal pasar. “Penurunan tipis harga minyak WTI mencerminkan koreksi teknikal setelah reli tajam sebelumnya,” ujar Sutopo.

Menurutnya, lonjakan harga mingguan dipicu oleh sanksi baru Amerika Serikat terhadap Rosneft dan Lukoil. Kedua perusahaan energi utama Rusia ini menyumbang hampir separuh ekspor minyak negara tersebut, sehingga kekhawatiran pasar terhadap gangguan pasokan mendorong harga naik.

Sentimen Geopolitik dan Pasokan Masih Menjadi Faktor Utama

Sutopo menambahkan, sentimen pasar minyak hingga akhir tahun masih bercampur. Sanksi terhadap Rusia serta potensi pengurangan impor minyak oleh Tiongkok dan India bisa menahan pasokan dan mendukung harga.

Di sisi lain, kekhawatiran terhadap kelebihan suplai global dari OPEC+ serta potensi surplus pada tahun depan dapat menahan laju kenaikan harga. “Prospek harga masih volatil, tapi selama OPEC+ menjaga pasokan dan ketegangan geopolitik belum mereda, harga cenderung bertahan di atas US$60 per barel,” jelas Sutopo.

Ia juga menyoroti bahwa struktur pasar minyak menunjukkan pola contango, menandakan pelaku pasar mengantisipasi potensi kelebihan pasokan di bulan-bulan mendatang. Pola ini membuat investor berhati-hati namun tetap optimistis dalam jangka pendek.

Aksi Ambil Untung dan Penguatan Dolar Tekan Harga

Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menilai pelemahan WTI di akhir pekan lebih disebabkan oleh aksi ambil untung dan penguatan dolar AS. “Penurunan harga WTI sebagian besar merupakan aksi ambil untung setelah kenaikan tajam sehari sebelumnya,” kata Nanang.

Penguatan dolar membuat harga komoditas berbasis dolar, termasuk minyak, cenderung terkoreksi. Selain itu, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global—terutama di Eropa dan Tiongkok—menimbulkan potensi pelemahan permintaan minyak (demand destruction).

Meski demikian, faktor pasokan masih menjadi penopang utama harga minyak. Keputusan OPEC+ untuk menjaga pembatasan produksi serta meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah dan Rusia dapat menahan harga agar tidak turun lebih dalam.

Secara teknikal, Nanang melihat harga WTI kini berada dalam fase konsolidasi setelah koreksi dari puncak US$80 per barel pada awal Juni 2025. Indikator momentum menunjukkan awal pembentukan tren positif meski belum kuat, dengan resistance terdekat di US$63,8–66,6 dan support utama di US$56,6–60 per barel.

Prediksi Harga Hingga Akhir Tahun Masih Volatil

Nanang memperkirakan pergerakan harga minyak masih akan sideways dengan kecenderungan bullish terbatas menjelang akhir tahun. Ia menilai, jika OPEC+ mempertahankan produksi ketat dan risiko geopolitik meningkat, harga berpotensi menembus resistance di kisaran US$66 per barel.

Kedua analis memperkirakan harga minyak WTI hingga akhir 2025 akan berada di rentang US$58–66 per barel, dengan titik tengah di kisaran US$62–63 per barel. Sutopo menekankan bahwa dinamika geopolitik, kebijakan OPEC+, dan struktur pasar contango menjadi faktor utama penggerak harga.

Nanang menambahkan bahwa pergerakan harga jangka menengah masih bergantung pada arah permintaan global dan sikap The Fed terhadap kebijakan suku bunga. Investor disarankan memantau risiko geopolitik dan pergerakan produksi OPEC+ untuk mengambil keputusan perdagangan yang tepat.

Meski harga mengalami fluktuasi, pasar minyak global tetap menunjukkan ketahanan terhadap berbagai faktor risiko. Faktor geopolitik, kebijakan OPEC+, dan permintaan dunia akan terus menentukan arah harga hingga akhir 2025.

Dengan sanksi baru AS, potensi pengurangan impor dari negara besar, dan konsolidasi produksi OPEC+, harga minyak berpeluang tetap di atas level psikologis US$60 per barel. Pasar kini menunggu keputusan strategis dari produsen besar dan data ekonomi global untuk menentukan tren harga selanjutnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index